Name: Katrina Desiree Jaafar
NPM: 15614800
Class: 4SA01
Original Article
Usabah Sambah, Preserving an Ancestral Ritual
A unique community exists in the
small village of Tenganan in Bali. Known as “Bali Aga“, meaning the true Bali,
they are believed to be the indigenous tribe of the island and have existed
long before the waves of migration of Java. Traditions are very old and are not
so restricted to influences brought by Javanese migrants. Distinctive, to say
the least.
Every year in the 11th month on
the Balinese calendar or the fifth month according to the Bali Aga’s ancient
calendar, the people of Tenganan conduct an ancestral ritual that lasts a whole
month, the Usaba Sambah ceremony. Intended as a month-long process of
re-balancing all life elements and experiences from the passing year, the
ceremony consists of a series of smaller rites that involve various components
of the community from spiritual leaders to old men and young men to women and
even children. It is a practice observed by the entire population of Tenganan
in great joy.
The ritual started with a
procession to the temple observed by all villagers wearing beautiful woven
fabric known as ‘grinsing‘. After a solemn prayer and a series of offerings
made in the temple, the Pandan War commenced as a tribute to honor the
ancestors also the god of war, Indra. A pair of young men began to fight, aiming
a precise rip at each other’s body with the Pandan leaves while trying to
protect themselves with the rattan shields. A referee timed the fight and
ensured that each only lasted for about one minute or until one of the young
men had enough and surrendered, whichever happened first. Then the next pair of
fighters had their turn and so on for the next three hours.
Usaba Sumbah is also celebrated
by the young women of the village in a special rite called ‘ayunan’ , which
also serves as the perfect moment for these young ladies to show off their
beauty and declare their womanhood. Wearing their best dresses and jewelries.
Although it looks deceptively simple and even childish, the Ayunan tradition
carries a deep philosophical meaning. “It is a vehicle to learn about life”, a
village elder explained. “Life is like sitting on a swing, sometimes you’re up
and sometimes you’re down. It makes you excited and nervous at the same time,
yet you try to go through it in your best demeanor.”
Article source: https://theamazingindonesia.com/bali-aga-preserving-ancestral-ritual/
Translated by Google Translate Version
Usabah Sambah, Melestarikan
Ritual Leluhur
Sebuah komunitas unik ada di desa
kecil Tenganan di Bali. Dikenal sebagai "Bali Aga", yang berarti Bali
yang sebenarnya, mereka diyakini sebagai suku asli pulau ini dan telah ada jauh
sebelum gelombang migrasi Jawa. Tradisi sangat tua dan tidak terbatas pada
pengaruh yang dibawa oleh migran Jawa. Khas, untuk sedikitnya.
Setiap tahun di bulan ke 11 pada
kalender Bali atau bulan kelima menurut kalender kuno Bali Aga, orang-orang
Tenganan melakukan ritual leluhur yang berlangsung sebulan penuh, upacara Usaba
Sambah. Ditujukan sebagai proses penyeimbangan ulang seumur hidup semua elemen
dan pengalaman hidup dari tahun yang lewat, upacara tersebut terdiri dari
serangkaian ritus yang lebih kecil yang melibatkan berbagai komponen masyarakat
dari para pemimpin spiritual hingga pria tua dan pemuda hingga wanita dan
bahkan anak-anak. Ini adalah praktik yang diamati oleh seluruh populasi
Tenganan dengan sangat gembira.
Ritual dimulai dengan sebuah
prosesi ke kuil yang diamati oleh semua penduduk desa yang memakai kain tenun
indah yang dikenal sebagai 'sapaan'. Setelah sholat dan serangkaian persembahan
yang dilakukan di bait suci, Perang Pandan dimulai sebagai penghormatan untuk
menghormati nenek moyang juga dewa perang, Indra. Sepasang pemuda mulai
bertarung, membidik tubuh masing-masing dengan daun Pandan sambil melindungi
diri dengan perisai rotan. Seorang wasit menghitung waktu pertarungan dan
memastikan bahwa masing-masing hanya bertahan sekitar satu menit atau sampai
salah satu pemuda itu sudah cukup dan menyerah, mana yang lebih dulu terjadi.
Kemudian pasangan pejuang berikutnya berpaling dan seterusnya selama tiga jam
berikutnya.
Usaba Sumbah juga dirayakan oleh
para wanita muda desa dalam sebuah ritus khusus yang disebut 'ayunan', yang
juga berfungsi sebagai momen yang tepat bagi para wanita muda ini untuk
memamerkan kecantikan mereka dan menyatakan keperempuanan mereka. Mengenakan
gaun dan perhiasan terbaik mereka. Meski terlihat menipu sederhana dan bahkan
kekanak-kanakan, tradisi Ayunan membawa makna filosofis yang mendalam.
"Ini adalah kendaraan untuk belajar tentang kehidupan", seorang tetua
desa menjelaskan. "Hidup itu seperti duduk di ayunan, kadang-kadang Anda
bangun dan kadang-kadang Anda sedang down. Itu membuat Anda bersemangat dan
gugup pada saat bersamaan, namun Anda mencoba melewatinya dengan sikap terbaik
Anda. "
Revised Version
Usabah Sambah, Melestarikan
Ritual Leluhur
Ada sebuah komunitas unik di desa
kecil Tenganan di Bali. Desa itu dikenal sebagai "Bali Aga", yang
berarti Bali yang sebenarnya. Mereka diyakini sebagai suku asli pulau ini dan
telah ada jauh sebelum gelombang migrasi Jawa. Tradisi mereka sangatlah tua dan
tidak terbatas pada pengaruh yang dibawa oleh penduduk Jawa. Sangatlah khas,
bukan?
Setiap tahun di bulan ke-11 pada
kalender Bali atau bulan kelima menurut kalender kuno Bali Aga, masyarakat Tenganan
melakukan sebuah ritual leluhur yang berlangsung sebulan penuh, yaitu upacara
Usaba Sambah. Ritual ini ditujukan sebagai proses untuk menyeimbangi ulang semua
elemen kehidupan dan pengalaman hidup dari tahun sebelumnya, upacara tersebut
terdiri dari serangkaian ritual kecil yang melibatkan berbagai komponen
masyarakat dari para pemimpin spiritual hingga para pria tua dan pemuda, wanita
dan bahkan anak-anak. Upacara ini disaksikan oleh seluruh penduduk Tenganan
dengan penuh kegembiraan.
Ritual ini dimulai dengan sebuah
prosesi ke pura yang disaksikan oleh semua penduduk desa yang mengenakan kain
tenun indah dikenal sebagai ‘grinsing’. Setelah sembahyang dan serangkaian
persembahan yang dilakukan di pura, Perang Pandan dimulai sebagai penghormatan terhadap
nenek moyang dan juga dewa perang, Indra. Sepasang pemuda mulai bertarung, membidik
tubuh masing-masing dengan daun Pandan sambil melindungi diri
dengan perisai rotan. Seorang wasit menghitung waktu pertarungan dan memastikan
bahwa masing-masing hanya bertahan sekitar satu menit atau sampai salah satu
pemuda itu menyerah, manapun yang lebih dulu terjadi. Kemudian pasangan pemuda
selanjutnya mendapat giliran dan seterusnya selama tiga jam berikutnya.
Usaba Sumbah juga dirayakan oleh
para wanita muda desa dalam sebuah ritual khusus yang disebut 'Ayunan'. Ritual ini adalah saat yang tepat bagi para wanita muda tersebut untuk menunjukkan
kecantikan dan menyatakan kedewasaan mereka. Mereka mengenakan gaun dan
perhiasan mereka yang terbaik. Meski terlihat sederhana dan bahkan kekanak-kanakan,
tradisi Ayunan membawa makna filosofis yang mendalam. "Ini adalah sebuah
perantara untuk mempelajari kehidupan", seorang tetua desa menjelaskan.
"Hidup itu seperti duduk di ayunan, kadang-kadang Anda bangun dan
kadang-kadang Anda jatuh. Itu membuat Anda bersemangat dan gugup pada saat
bersamaan, namun Anda mencoba melewatinya dengan sikap terbaik Anda."